Para arkeolog menemukan sebuah pusat pengolahan emas yang dipercaya telah beroperasi antara tahun 2000 dan 1500 sebelum Masehi.
Penemuan ini dilakukan oleh sebuah tim dari Universitas Chicago, terdiri lebih dari 55 penghancur batu yang terbuat dari granit (sejenis batuan metamorf), ditemukan di lokasi Hosh el-Geruf di sepanjang sungai Nil, 225 mil sebelah utara Khartoum, Sudan.
Beberapa penghancur batu sejenis ditemukan di lokasi-lokasi padang pasir, kebanyakan di sekitar Mesir, di mana batu-batu itu digunakan untuk menghancurkan bijih-bijih logam untuk mendapatkan logam mulia.
Para arkeolog mempercayai bahwa bijih logam yang masih tercampur tanah kemungkinan dicuci dengan air di dekat lokasi penemuan untuk memisahkan serpihan-serpihan emas.
“Sejumlah besar penghancur batu dan peralatan lainnya yang digunakan untuk menghancurkan dan menghaluskan bijih-bijih (logam) menunjukkan bahwa lokasi ini dulunya merupakan sebuah pusat pengelolaan produksi emas,” kata Geoff Emberling, Direktur Oriental Institute Museum sekaligus pimpinan tim ekspedisi.
Tim ekspedisi juga telah menggali sebuah makam yang berisi berbagai artifak. Diduga wilayah itu merupakan bagian dari kerajaan Kush, diketahui sebagai bagian pertama dari Kerajaan Sahara. Itu berarti kerajaan Kush jauh lebih luas dari yang dipercayai sebelumnya.
“Pekerjaan ini benar-benar menakjubkan, karena ini dapat memberikan gambaran awal mengenai organisasi ekonomi negara Afrika kuno yang masih belum banyak diketahui,” kata Gil Stein, Direktur Oriental Institut di Universitas Chicago.
Mempelajari Kush juga dapat membantu para pelajar agar lebih banyak mengetahui tentang kehidupan komunitas jaman dahulu di luar daerah pusat-pusat kekuasaan seperti Mesir dan Mesopotamia.
Ekspedisi yang diadakan University of Chicago merupakan bagian dari proyek penemuan internasional (peninggalan kuno) yang mengacu pada pencarian artifak yang berhubungan dengan Kush dan peradaban lain yang bermunculan di daerah peninggalan kuno sebelum daerah tersebut tertutup endapan banjir sungai Nil.
Penelitian ini didanai oleh National Geographic Society dan the Packard Humanities Institute. (rtr/ The Epoch Times)